Sabtu, 06 Juli 2013

BUDAYA ORGANISASI


 

Manusia adalah makhluk yang berbudaya, setiap aktifitasnya mencerminkan sistem kebudayaan yang berintegrasi dengan dirinya, baik cara berpikir, memandang sebuah permasalahan. Pengambilan keputusan dan lain sebagainya.
Budaya Organisasi Menurut Para Ahli- Kata budaya (Culture) sebagai suatu konsep berakar dari kajian atau disiplin ilmu Antropologi ; yang oleh Killman . et. Al (dalam Nimran, 2004 : 134) diartikan sebagai Falsafah, ideologi, nila-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu masyarakat.
Menurut Robbins  (1999 : 282) semua organsasi mempuyai budaya yang tidak tertulis yang mendefinisikan standar-standar perilaku yang dapat diterima dengan baik maupun tidak untuk para karyawan. Dan proses akan berjalan beberapa bulan, kemudian setelah itu kebanyakan karyawan akan memahami budaya organiasi mereka seperti, bagaimana berpakaian untuk kerja dan lain sebagainya.
Gibson (1997 : 372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang dianut.
Menurut Mowat (2002) budaya organisasi adalah “the personality of the organization: the shared beliefs, values and behaviours of the group. It is symbolic, holistic, and unifying, stable, and difficult to change.”
Menurut pandangan Davis (1984):“Pengertian budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasionalyang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasional sehingga polatersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku dalam organisasional”. Budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang  dipegang oleh anggota­anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya.
Schein (1981) dalam Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.
Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan pembelajaran.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya organisasi memiliki tiga lapisan:
  1. Lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan yang tampak nyata tetapi seringkali tidak dapat diinterpretasikan. 
  2. Lapisan kedua terdapat nilai atau berbagai hal yang penting bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat afektif, atau keinginan. 
  3. Lapisan ketiga merupakan asumsi dasar yang diciptakan orang untuk memandu perilaku mereka. Termasuk dalam lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan kepada individu bagaimana berpersepsi, berpikir, dan berperasaan mengenai pekerjaan, tujuan kinerja, hubungan manusia, dan kinerja rekan kerja.
Terdapat tujuh karakter utama yang menjadi hakikat dari budaya organisasi: 
  1. Inovasi dan pengambilan resiko: sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 
  2. Perhatian terhadap detail: sejauh mana karyawan diharapkan mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail. 
  3. Orientasi terhadap hasil: sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. 
  4. Orientasi terhadap individu: sejauhmana manajemen  dalam mempertimbangkan efek­efek keberhasilan individu­individu didalam organisasi 
  5. Orientasi terhadap tim: sejauh mana aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan. 
  6. Agresivitas: sejauh mana orang­orang agar berlaku agresif (kreatif) dan (kompetitif), dan tidak bersikap santai. 
  7. Stabilitas: sejauh mana aktivitas organisasi dalam  mempertahankan status quo (Robbins, 2002) 
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sebuah sistem bersama yang meliputi keyakinan, nilai­nilai dan perilaku kelompok yang membedakannya dengan organisasi lain.
Fungsi budaya pada umumnya sukar dibedakan dengan fungsi budaya kelompok atau budaya organisasi, karena budaya merupakan gejala sosial. Menurut Ndraha (1997 : 21) ada beberapa fungsi budaya, yaitu :
  1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
  2. Sebagai pengikat suatu masyarakat
  3. Sebagai sumber
  4. Sebagai kekuatan penggerak
  5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
  6. Sebagai pola perilaku
  7. Sebagai warisan
  8. Sebagai pengganti formalisasi
  9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan
  10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation – state
Sedangkan menurut Robbins (1999:294) fungsi budaya didalam sebuah organisasi adalah :
  1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas
  2. Budaya berarti identitas bagi suatu anggota organisasi
  3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen
  4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial
C.     Tipologi Budaya Organisasi
Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga yaitu budaya kuat dan budaya lemah; budaya yang memiliki kecocokan strategik; dan budaya adaptif. Organisasi yang berbudaya kuat biasanya dapat dilihat oleh orang luar sebagai memilih suatu gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini nilai-nilai yang dianut bersama itu dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer untuk mengikutinya. Karena akar-akarnya sudah mendalam, gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian pimpinan.
Sejalan dengan itu, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang kuat adalah budaya di mana nilai-nilai inti dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat pula budaya tersebut. Sebaliknya organisasi yang berbudaya lemah, nilai-nilai yang dianut tidak begitu kuat sehingga jatidiri organisasi tidak begitu menonjol dan kemungkinan besar nilai-nilai yang dianut pun berubah setiap pergantian pimpinan atau sesuai dengan kebijakan pimpinan yang baru.
Jenis budaya yang cocok secara strategik memiliki perspektif yang menegaskan tidak ada resep umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik itu, hanya apabila “cocok” dengan konteksnya. Konteks itu dapat berupa kondisi objektif dari organisasinya, segmen usahanya yang dispesifikasi oleh strategi organisasi atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep kecocokan sangat bermanfaat khususnya dalam menjelaskan perbedaanperbedaan kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi konsepnya mengatakan bahwa suatu budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh karena itu, beberapa variasi dibutuhkan untuk mencocokan tuntutan-tuntutan spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
Budaya adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem terbuka dan dinamis yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk dapat meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan penyesuaian secara cepat. Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
Selanjutnya, Luthans (1992) memaparkan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
  1. Peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi 
  2. Norma-norma 
  3. Nilai-nilai yang dominan 
  4. Filosofi 
  5. Aturan-aturan 
  6. Iklim organisasi.
Semua karakteristik budaya organisasi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dalam arti bahwa unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa maupun organisasi yang menghasilkan produk barang.
Robbins (1990) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu:
  1. Inisiatif individu 
  2. Toleransi terhadap risiko 
  3. Pengarahan 
  4. Integrasi 
  5. Dukungan manajemen 
  6. Pengawasan 
  7. Identitas 
  8. Sistem penghargaan 
  9. Toleransi terhadap konflik 
  10. Pola komunikasi.
Inisiatif individual adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan.
Toleransi terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi risiko dalam pekerjaannya. Pengarahan, hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu.
Integrasi adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.
D.    Daftar Pustaka
Luthans Fred, (2006), Perilaku Organisasi, Andi Yogyakarta.
Sutrisno Edy, (2010), Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media Group Jakarta.
Mangkunegara Anwar Prabu, (2008), Perilaku dan Budaya Organisasi, Refika Aditama Bandung
http://www.psychologymania.com/2013/01/tipologi-budaya-organisasi.html